Memberi Makan: Keteguhan Tiga Orang Perempuan Kader Posyandu di Batukaras

Terang matahari belum menggantikan indahnya cahaya rembulan malam. Bintang masih bersinar terang di atas gelap langit. Ayam jantan belum berkokok riang. Para nelayan juga belum menurunkan perahunya menuju lautan. Sebagian warga Dusun Sanghiangkalang, Desa Batukaras, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran juga masih terlelap dalam indahnya mimpi mereka. Rupa-rupanya, jarum jam memang masih menunjukkan angka 02.30 dini hari.

Inilah waktunya bagi tiga orang perempuan kader Posyandu “Kenanga” untuk bergegas. Melawan kantuk, menerjang dinginnya udara pagi di pinggir pantai, sembari berjalan menembus gelap malam ditemani cahaya rembulan. Setiap hari, ketiga orang perempuan itu berkumpul di waktu yang kurang lebih sama, 02.30 dini hari  untuk menyiapkan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi balita, ibu menyusui, dan ibu mengandung yang membutuhkan.

Pagi itu, Jumat (18/7) giliran rumah Ani yang dipakai sebagai dapur untuk membuat PMT. Menu yang disiapkan berupa nasi, soto ayam, bihun, tahu isi, telur rebus, dan buah papaya. Ketiga orang perempuan itu berbagi tugas. Ada yang memasak kuah kaldu, merebus telur, dan memasak nasi. Menunya memang komplit dan tentu saja bergizi seimbang.

Sudah lebih dari tiga tahun tiga orang perempuan kader posyandu ini bersama-sama menjalankan program PMT di Dusun Sanghiangkalang. Berkat keteguhan dan daya karsa mereka, puluhan orang terbantu untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Sungguh luar biasa, di tengah kesibukan mereka, tetap ada waktu untuk melayani sesama.

“Saya melakukan ini karena kalau tidak ada saya, bagaimana program ini dapat berjalan?” tutur Nur.

Selesai memasak, sekitar pukul 04.00 pagi, tiga orang perempuan itu beristirahat sejenak dan tidak lupa melaksanakan salat subuh. Setelah itu, mereka bergegas pergi ke lahan garapan yang ditumbuhi tanaman kangkung. Hasilnya mereka jual ke restoran-restoran di sekitar Pantai Batukaras. Di lahan garapan itu, sembari duduk bersama dengan beberapa perempuan lainnya, ketiga kader posyandu itu berbincang tak tentu arah dan tentu saja ada canda serta tawa yang menyertai. Ahh, rasanya ini adalah kegiatan yang sederhana dan menyegarkan!

Barulah setelah pekerjaan di kebun selesai, kotak-kotak makanan PMT didistribusikan. Ketiga orang perempuan kader posyandu itu datang dengan senyum sumringah membagikan apa yang telah mereka buat. Di sisi lain, datang pula senyum tulus dari penerima makanan tersebut. Satu kegiatan telah usai bagi ibu-ibu ini di sekitar pukul 07.15. Setelah ini, jangan harap pekerjaan usai. Masih ada seabrek pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, seperti mencuci, memasak, dan lain-lain.

Allah adalah Kasih

Apabila ditempatkan dalam kerangka Kekristenan, apa yang dilakukan oleh ibu-ibu di Dusun Sanghiangkalang amatlah mulia. Tindakan ketiga perempuan ini adalah buah nyata dari iman akan Allah yang lalu mewujud secara konkret dalam pelayanan pada sesama. Wajah belas kasih Allah menjadi nyata dalam tindakan mereka sehari-hari. Hati nurani mereka digerakkan oleh Allah untuk berbagi kasih pada sesama.

Pada tanggal 25 Desember 2005, Paus Benediktus XVI mengeluarkan ensikliknya yang pertama, yaitu “Deus Caritas Est” (Allah adalah Kasih). Judul ensiklik ini berasal dari Surat pertama Yohanes 4:16, “Allah adalah kasih dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia,” Ensiklik ini dituliskan sebagai  bentuk upaya Gereja untuk secara terus-menerus mewartakan kasih Allah. Sebab, dalam dunia di mana Allah kadang-kadang dikaitkan dengan balas dendam atau bahkan kewajiban akan kebencian dan kekerasan, pesan ini amat aktual dan praktis (Deus Caritas Est, 1). Allah telah menganugerahkan kasih dan anugerah-Nya pada kita dan inilah yang harus sungguh dihayati sedemikian rupa sehingga dapat diteruskan kepada sesama.

Pengalaman akan Allah yang hadir dalam wujud kasih inilah yang menjadikan seseorang menjadi pribadi-pribadi yang utuh, matang, dan kudus. Gambaran dan pengalaman akan Allah, entah disadari atau tidak jugalah yang pada akhirnya menentukan cara berpikir, sikap, dan tingkah laku seseorang. Menukil ensiklik ini, kiranya teranglah bahwa apa yang dilakukan oleh ketiga orang perempuan kader posyandu adalah perwujudan total dari pengejawantahan wajah Allah yang adalah kasih.

Memberi Mereka Makan

Secara lebih lanjut, Yesus dalam sabda-Nya juga memberi perintah kepada para murid untuk memberi makan kepada orang-orang yang berkumpul di sekitar mereka. “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37). Akhir dari kisah ini adalah mukjizat pelipatgandaan lima roti dan dua ikan. Artinya, dari kekurangan/apa saja yang dimiliki, Tuhan akan menggandakan dengan kuasa-Nya. Di lain waktu dan tempat, St.Paulus juga menyampaikan refleksinya bahwa “Sebab, cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna,” (2 Kor 12: 9).

Artinya, segenap daya dan upaya manusiawi akan sungguh menghasilkan buah dengan campur tangan Tuhan yang menggenapinya. Dari pada ini pula, Tuhan senantiasa hadir dalam wujud kasih. Tradisi Gereja mencatat ada banyak karya karitatif dari semangat untuk memberi makan kepada sesama ini. Tengoklah kisah Bunda Teresa dari Kalkuta sebagai contoh. Dalam pesan ini terdapat pula unsur panggilan untuk menjadi makin solider dan peduli pada sesama.

Dilihat dalam kerangka ini, kiranya dapat dikatakan dengan jelas bahwa apa yang dilakukan oleh ketiga perempuan yang memasak PMT adalah perwujudan konkret dari perintah ini. Allah senantiasa memengaruhi hati mereka, menggerakkan daya karsa sedemikian rupa sehingga mereka tergerak untuk berbuat sesuatu kepada yang membutuhkan. Mereka melaksanakan dengan sungguh apa yang diamanatkan oleh Yesus: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37).

Sejatinya pula, ketiga perempuan ini juga tidak memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Yang ada hanyalah hati yang sudah dijamah oleh Allah untuk bertindak dalam kasih pada sesama. Inilah yang pada akhirnya membawa mereka pada semangat solidaritas yang tinggi. Tanpa adanya ini, kiranya mustahil mereka dapat melaksanakan kegiatan ini secara rutin selama lebih dari tiga tahun.

Pada akhirnya, pesan ‘memberi makan’ bagaikan hukum kasih ganda, yaitu mengasihi Allah dan sesama. Dua gerak yang harus dihayati bersama secara integral dan komprehensif. Tidaklah dapat dibenarkan apabila hanya rutin beribadah dan rajin berdoa tanpa diaktualisasikan dengan mencintai sesama. Di sisi lain, tidaklah dapat dikatakan tepat apabila hanya mencintai sesama tanpa adanya kesadaran bahwa kasih ini sejatinya berasal dari Allah. Secara makin konkret, tindakan ini secara khusus haruslah ditujukan pada mereka yang papa dan miskin.

Sekelumit cerita di atas adalah salah satu contoh nyata dari perwujudan kehendak Gereja untuk mewartakan Allah yang adalah kasih. Tindakan dari tiga orang perempuan di Batukaras dapat menjadi inspirasi. Pertama, kasih pada Allah sudahlah sewajarnya disalurkan kepada sesama. Kedua, Tuhan akan menggenapi apa saja yang menjadi niat baik seseorang. Terakhir, marilah senantiasa memohon rahmat Allah supaya senantiasa mampu untuk menjadi solider dalam berbagi dan peduli pada sesama serta dibebaskan dari semangat serakah dan kenikmatan yang berlebihan.  Sebab: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37).

Yohanes Ario Seto (Catatan P3M, Pangandaran)