Perjalanan Menuju Iman yang Berbasis Cinta dalam Diskusi Bersama Akademisi UNPAR

UNPAR.AC.ID, Bandung – Dalam sebuah diskusi inspiratif bertajuk “Love as a New Basis for Religious Faith” yang diadakan di Selasar Sunaryo Art Space, Dr. theol. Leonardus Samosir, OSC, seorang dosen Fakultas Filsafat UNPAR, menyampaikan gagasannya tentang cinta sebagai landasan baru dalam iman religius. Diskusi yang juga dihadiri oleh Dr. Thomas Kristiatmo, S.S., M.Hum., STL, dan Yoseph Kristinus Guntur, S.S., S.T.B., S.T.L., ini menyelami bagaimana cinta, dengan segala tahapan dan dimensinya, dapat menjadi dasar yang menguatkan hubungan antara manusia dan Tuhan.

Dr. Leonardus menjelaskan, “Cinta itu seperti sebuah dasar yang mendasar, yang menjadi tahapan untuk ke tingkat berikutnya dalam iman religius. Tanpa cinta, rasanya orang tidak akan sampai pada tingkat yang disebut dengan religious faith.”

Dr. Leonardus pun menggambarkan cinta dalam tiga jenis: cinta yang menerima, cinta dalam pola memberi dan menerima, serta cinta yang tanpa pamrih. Tahap pertama, cinta yang menerima, menurutnya, adalah fase di mana seseorang menyadari bahwa dirinya dicintai tanpa syarat.

“Anak-anak itu selalu keinginannya dipenuhi oleh orang tuanya, dan dari situlah mereka belajar bahwa mereka dicintai,” ujarnya. Tahapan cinta yang menerima ini menjadi pondasi penting, sebab seseorang yang pernah merasakan dicintai akan lebih mudah naik ke tahapan berikutnya, yaitu memberi.

Pada tahapan kedua, cinta berkembang menjadi pola memberi sekaligus menerima, di mana seseorang tidak hanya menerima cinta tetapi juga memberi dengan harapan menerima balasan. Ia menjelaskan, “Kebanyakan orang mungkin masih dalam pola ini; ketika memberi, dalam hati kecilnya ia mengharapkan balasan.” ucapnya, sebagaimana dikutip melalui siaran Youtube Selasar Sunaryo Art Space, Kamis (7/11/2024).

Namun, menurutnya, cinta sejati adalah cinta pada tahapan ketiga, yakni cinta yang tanpa pamrih. “Ini adalah cinta yang tidak mengharapkan apapun, hanya memberi tanpa memperhitungkan balasan,” jelas Dr. Leonardus dengan penuh keyakinan. Baginya, tahapan ini merupakan puncak dari cinta religius yang diusung dalam ajaran Kristiani.

Dr. Thomas Kristiatmo, yang mendampingi dalam diskusi tersebut, juga memberikan pandangannya tentang cinta tanpa syarat ini melalui ilustrasi kisah anak yang hilang dari Injil Lukas. Ia menyebutkan, “Kisah ini menggambarkan seorang ayah yang tidak peduli pada segala kesalahan anaknya, tetap menerimanya dengan cinta yang agape. Sang ayah memeluk anaknya dan merayakan kembalinya tanpa memperhitungkan semua kesalahan masa lalu.”

Menurut Dr. Thomas, inilah bentuk cinta tanpa syarat yang ditawarkan dalam ajaran Kristiani. Bahkan, ketika anak sulung enggan untuk menerima adiknya kembali, ayah itu tetap menunjukkan kasihnya dengan mengajaknya masuk ke dalam pesta keluarga.

Sementara itu, Yoseph Kristinus Guntur, yang juga hadir dalam diskusi tersebut, menekankan bahwa cinta yang agape dapat mengubah relasi antar manusia. “Pengalaman dicintai secara agape menjadikan sesama, apapun latar belakangnya, sebagai saudara. Ketika manusia menyadari cintanya, ia tidak akan melihat sesamanya sebagai pesaing atau pihak yang terpisah,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa cinta dalam konteks ini menciptakan kesadaran spiritual yang lebih dalam, di mana kasih kepada Tuhan dan sesama manusia menjadi hukum utama.

Dalam pandangan Dr. Leonardus, agama memiliki peran penting dalam membawa manusia menuju cinta yang tanpa pamrih ini. Ia menegaskan, “Agama harus menarik manusia dari cinta yang transaksional kepada cinta tanpa pamrih. Itulah tugas agama untuk membantu manusia melampaui kebutuhan akan aturan semata, dan menuntun mereka menuju cinta sejati yang agape.” Baginya, agama menjadi sarana untuk mencapai kesadaran akan cinta yang lebih tinggi, di mana relasi manusia dengan Tuhan dan sesama seharusnya didasarkan pada kasih yang tulus tanpa pamrih.

Diskusi yang berlangsung dalam suasana hangat dan mendalam ini berhasil membawa perspektif baru tentang bagaimana cinta dapat menjadi fondasi utama dalam perjalanan spiritual manusia. Para peserta pun tampak antusias menyimak setiap gagasan yang disampaikan oleh para narasumber, terutama saat mereka mengaitkan konsep cinta dengan nilai-nilai spiritual dalam agama. Dr. Leonardus mengakhiri dengan sebuah refleksi mendalam, “Bagi Kristiani, hukum yang terutama adalah mencintai Allah dengan segenap hati dan mencintai sesama manusia seperti mencintai diri sendiri. Satu cinta yang memiliki dua dimensi—dan itu semua dimulai dari kesadaran bahwa kita dicintai.” (NAT-Humas UNPAR)

Sumber Berita:
https://unpar.ac.id/perjalanan-menuju-iman-yang-berbasis-cinta-dalam-diskusi-bersama-akademisi-unpar/