FILSAFAT.AC.ID, Bandung – Diskusi dan studi tentang teologi gereja seringkali ada dalam ketegangan antara objektivitas dan historisitas dengan dua kutubnya yang selalu saling menjauhkan. Meminjam teropong Bernard Lonergan, imam sekaligus pemikir yang menaruh minat besar pada sejarah, Dr. Thomas Kristiatmo mencoba mendekati permasalahan yang membuat teologi gereja semakin asing dari realitas sosial nyata yang dihidupi masyarakat ini.

“Yang dibutuhkan itu bukan saja summa teologia, tapi yang dibutuhkan untuk masyarakat atau berteologi adalah summa sociologia,” tutur Kristiatmo ketika menyampaikan oratio berjudul “Menggamit Sejarah dalam Refleksi Teologis” dalam Studium Generale di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Jalan Nias Nomor 2, Kota Bandung, Sabtu (24/2/2023).
Dijelaskan Kristiatmo, semakin orang melakukan suatu penelitian dengan bersandar pada objektivitas, semakin mereka melupakan apa yang disebut the great depression. Lonergan, yang di sepanjang karya dan penelitiannya berusaha memasukkan unsur sejarah dalam pembahasan teologis, memang melihat ini sebagai persoalan konkret yang menarik.
Dampak dari the great depression adalah banyak orang jatuh miskin. Optimisme yang tumbuh segera dihadapkan pada perang yang mengakibatkan duka mendalam. Orang semakin berkekurangan dari sisi material.
Dijelaskan Kristiatmo, yang baru menyelesaikan studi doktoralnya di Pontifica Università Gregoriana Roma, Italia, minat Lonergan atas sejarah dipertajam lagi oleh beberapa faktor, di antaranya krisis berkepanjangan, adanya reaksi Gereja atas krisis, serta gagasan para pemikir Katolik. Krisis-krisis yang terjadi melepaskan masyarakat dari yang metafisik.
Lonergan menyebut empat tingkat kesadaran, yakni empiris, intelektual, rasional, dan bertanggung jawab (responsible). Di tingkat bertanggung jawab, manusia ada di tahap pengambilan keputusan untuk dijalankan.
Lonergan juga menyebut adanya bias-bias yang mungkin dihadapi orang di setiap tingkat kesadaran itu, mulai dari bias dramatik, bias individual, bias kelompok, hingga bias umum (general). Dalam kesimpulannya, Kristiatmo mengatakan bahwa untuk memahami Lonergan, kita harus memahami dulu gagasan Thomist. Orang mesti memahami jalinan organik pemikirannya secara utuh dan lengkap. Metode yang digunakan Lonergan mengandaikan bahwa orang masuk ke dalam interioritas diri. Artinya, untuk membuat suatu judgment, orang harus berangkat dari interioritas atau kedalaman diri.
Mengambil Studi Lanjut dan Mengikuti Kompetisi
Studium Generale yang digelar bertepatan dengan peringatan 54 tahun Fakultas Filsafat UNPAR ini diawali dengan misa syukur yang diikuti segenap anggota komunitas kampus, mulai dari mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, hingga alumni. Suasana akrab terbangun.
Dalam Laporan Pertanggungjawabannya, Dekan Fakultas Filsafat UNPAR Leonardus Samosir menyampaikan capaian dan tantangan yang dihadapi Fakultas Filsafat. Para dosen magister didorong untuk segera melanjutkan studi mereka ke jenjang doktoral (S3). Kebijakan ini penting sebagai bagian dari usaha Fakultas untuk terus memperbaiki mutu layanan.


Kepada para mahasiswa, Dekan Leo memberikan apresiasi untuk keberanian mereka mengikuti kompetisi-kompetisi di luar kampus, baik jenjang nasional maupun internasional. Ia melihatnya sebagai peluang bagi para mahasiswa untuk terus mengembangkan diri.
Dalam Studium Generale itu, diberikan penghargaan bagi belasan mahasiswa Fakultas Filsafat UNPAR yang telah mengukir prestasi di sepanjang tahun 2022. Bidangnya beragam, mulai dari lomba pembuatan film, penulisan, hingga olah raga dan paduan suara. Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Filsafat UNPAR Slamet Purwadi berharap agar pemberian penghargaan ini memberikan tambahan motivasi dan inspirasi bagi para mahasiswa untuk semakin berprestasi di tahun-tahun mendatang. (Filsafat UNPAR)

